Era
reformasi membawa banyak perubahan di hampir segala bidang di Republik
Indonesia. Ada perubahan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat, tapi
tampaknya ada juga yang negatif dan pada gilirannya akan merugikan bagi
keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suasana
keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru menyebabkan arus informasi dari segala
penjuru dunia seolah tidak terbendung. Berbagai ideologi, mulai dari ekstrim
kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik perhatian bangsa kita, khususnya generasi
muda, untuk dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam upaya mencari jati diri
bangsa setelah selama lebih dari 30 tahun merasa terbelenggu oleh sistem
pemerintahan yang otoriter.
Salah satu dampak buruk dari reformasi adalah memudarnya semangat nasionalisme
dan kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan atau
ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar dalam
suatu sistem politik yang demokratis. Namun berbagai tindakan anarkis, konflik
SARA dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatas namakan demokrasi
menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan sebagai suatu
bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan
utama. Semangat untuk membela negara seolah telah memudar.
Bela Negara biasanya selalu dikaitkan dengan militer atau militerisme,
seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya terletak
pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, bela
negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia. Bela
negara adalah upaya setiap warga negara untuk mempertahankan Republik Indonesia
terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.
UU no 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara RI mengatur tata cara
penyelenggaraan pertahanan negara yang dilakukan oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) maupun oleh seluruh komponen bangsa. Upaya melibatkan
seluruh komponen bangsa dalam penyelenggaraan pertahanan negara itu antara lain
dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Di dalam masa
transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi, tentu timbul
pertanyaan apakah Pendidikan Pendahuluan Bela Negara masih relevan dan masih
dibutuhkan. Makalah ini akan mencoba membahas tentang relevansi Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara di era reformasi dan dalam rangka menghadapi era
globalisasi abad ke 21.
Hakekat
Ancaman Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia Ancaman Dari
Luar
Dengan berakhirnya Perang Dingin pada awal tahun 1990an, maka ketegangan
regional di dunia umumnya, dan di kawasan Asia Tenggara khususnya dapat
dikatakan berkurang. Meskipun masih terdapat potensi konflik khususnya di
wilayah Laut Cina Selatan, misalnya sengketa Kepulauan Spratly yang melibatkan
beberapa negara di kawasan ini, masalah Timor Timur yang menyebabkan
ketegangan antara Indonesia dan Australia, dan sengketa Pulau Sipadan/Ligitan
antara Indonesia dan Malaysia, namun diperkirakan semua pihak yang
terkait tidak akan menyelesaikan masalah tersebut melalui kekerasan bersenjata.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam jangka waktu pendek ancaman dalam
bentuk agresi dari luar relatif kecil. Potensi ancaman dari luar tampaknya
akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral dan budaya bangsa melalui
disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan obat-obat terlarang,
film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing yang mempengaruhi
bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada gilirannya dapat merusak
budaya bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya adalah dalam bentuk
"penjarahan" sumber daya alam Indonesia melalui eksploitasi sumber
daya alam yang tidak terkontrol yang pada gilirannya
dapat
merusak lingkungan atau pembagian hasil yang tidak seimbang baik yang dilakukan
secara "legal" maupun yang dilakukan melalui kolusi dengan pejabat
pemerintah terkait sehingga meyebabkan kerugian bagi negara.
Semua potensi ancaman tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan Ketahanan
Nasional melalui berbagai cara, antara lain:
1. Pembekalan
mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal
2. pengaruh-pengaruh
budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia
3. Upaya
peningkatan perasaan cinta tanah air (patriotisme) melalui pemahaman
dan penghayatan (bukan sekedar
penghafalan) sejarah perjuangan bangsa.
4. Pengawasan
yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya alam nasional serta
terciptanya suatu pemerintahan yang bersih
dan berwibawa (legitimate, bebas KKN, dan
konsisten melaksanakan
peraturan/undang-undang).
5. Kegiatan-kegiatan
lain yang bersifat kecintaan terhadap tanah air serta
menanamkan semangat juang untuk
membela negara, bangsa dan tanah air serta mempertahankan
Panca Sila sebagai ideologi
negara dan UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
6. Untuk
menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun kemungkinannya
relative sangat kecil, selain
menggunakan unsur kekuatan TNI, tentu saja dapat
menggunakan unsur Rakyat Terlatih
(Ratih) sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta.
Dengan doktrin Ketahanan Nasional itu, diharapkan bangsa Indonesia mampu
mengidentifikasi berbagai masalah nasional termasuk ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan terhadap keamanan negara guna menentukan langkah
atau tindakan untuk menghadapinya.
Ancaman
Dari Dalam
Meskipun tokoh-tokoh LSM banyak yang menyatakan hal ini sebagai sesuatu yang
mengada-ada, pada kenyataannya potensi ancaman yang dihadapi Negara Republik
Indonesia tampaknya akan lebih banyak muncul dari dalam negeri, antara lain
dalam bentuk:
1. Disintegrasi
bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan sentimen kesukuan atau
pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat
2. Keresahan
sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran Hak Azasi
Manusia yang pada gilirannya dapat
menyebabkan huru-hara/kerusuhan massa
3. Upaya
penggantian ideologi Panca Sila dengan ideologi lain yang ekstrim atau yang
tidak sesuai dengan jiwa dan
semangat perjuangan bangsa Indonesia
4. Potensi
konflik antar kelompok/golongan baik akibat perbedaan pendapat dalam
masalah politik, maupun akibat
masalah SARA
5. Makar
atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional
Di masa transisi ke arah demokratisasi sesuai dengan tuntutan reformasi saat
ini, potensi konflik antar kelompok/golongan dalam masyarakat sangatlah besar.
Perbedaan pendapat yang justru adalah esensi dari demokrasi malah merupakan potensi
konflik yang serius apabila salah satu pihak berkeras dalam mempertahankan
pendiriannya sementara pihak yang lain berkeras memaksakan kehendaknya.
Dalam hal ini, sebenarnya cara yang terbaik untuk mengatasi perbedaan
pendapat adalah musyawarah untuk mufakat. Namun cara yang sesungguhnya
merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia itu tampaknya sudah dianggap kuno
atau tidak sesuai lagi di era reformasi ini. Masalahnya, cara pengambilan suara
terbanyakpun (yang dianggap sebagai cara yang paling demokratis dalam
menyelesaikan perbedaan pendapat) seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi
pihak yang "kalah", sehingga mereka memilih cara pengerahan
massa atau melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.
Tidak adanya kesadaran hukum di sebagian kalangan masyarakat serta ketidak
pastian hukum akibat campur tangan pemerintah dalam sistem peradilan juga
merupakan potensi ancaman bagi keamanan dalam negeri. Apalagi di masa
transisi saat ini ada kelompok/golongan yang secara terbuka menyatakan tidak
mengakui Peraturan/perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah transisi yang
berkuasa saat ini. Pelecehan terhadap hukum/undang-undang ini jelas menimbulkan
kekacauan/anarki dan merupakan potensi konflik yang serius. Contoh yang paling
nyata adalah insiden Semanggi di mana para pengunjuk rasa yang jelas-jelas
tidak mematuhi UU no 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum akhirnya bentrok dengan aparat keamanan yang justru ingin menegakkan
hukum. Terlepas dari berbagai faktor psikologis dan politis yang memicu
terjadinya insiden tersebut, kenyataannya adalah seandainya semua pihak
menyadari pentingnya kepatuhan terhadap hukum, tentunya insiden itu tidak akan
terjadi. Keragu-raguan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan maupun
pengadilan) dalam menangani berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan
pejabat tinggi negara juga potensial untuk menyulut huru-hara akibat kekecewaan
masyarakat. Tidak adanya kesadaran hukum, di samping aspek
sosial-psikologis yang perlu diteliti lebih lanjut dan dicarikan
penyelesaiannya, juga menyebabkan sering timbulnya tawuran antar warga
atau tawuran antar pelajar yang pada gilirannya menimbulkan keresahan
masyarakat dan menyebabkan instabilitas keamanan lingkungan. Maka, sosialisasi berbagai
peraturan dan perundang-undangan serta penegakan hukum yang tegas, adil dan
tanpa pandang bulu adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi potensi konflik
ini. Potensi ancaman dari dalam negeri ini perlu mendapat perhatian yang serius
mengingat instabilitas internal seringkali mengundang campur tangan pihak
asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk
kepentingan mereka.
Memudarnya
Nasionalisme dan Kecintaan Pada Bangsa dan Tanah Air
Sebagai produk dari faktor politik, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu
tahapan sejarah, nasionalisme adalah "suatu kondisi pikiran, perasaan atau
keyakinan sekelompok manusia pada suatu wilayah geografis tertentu, yang
berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki kesusasteraan yang mencerminkan
aspirasi bangsanya, terlekat pada adat dan tradisi bersama, memuja pahlawan
mereka sendiri dan dalam kasus-kasus tertentu menganut agama yang sama"
Nasionalisme adalah produk langsung dari konsep bangsa. Ia merujuk kepada
perasaan "kasih sayang" pada satu sama lain yang dimiliki oleh
anggota bangsa itu dan rasa kebanggaan yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri.
Dia adalah semangat kebersamaan yang bertujuan memelihara kesamaan pandangan,
kesamaan masyarakat dan kesamaan bangsa dalam suatu kelompok orang-orang
tertentu. Dia adalah suatu idelogi abstrak yang mengakui kebutuhan akan suatu
pengalaman bersama, kebudayaan bersama, dasar sejarah, bahasa bersama dan
lingkungan politik yang homogen. Nasionalisme dapat diungkapkan dengan berbagai
cara, misalnya keinginan untuk mencapai taraf kehidupan yang tinggi, keinginan
untuk memenangkan medali emas lebih banyak dari negara lain dalam Olympiade,
atau bahkan menundukkan wilayah lain yang berbatasan.
Akhir-akhir ini ditengarai bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme,
khususnya di kalangan generasi muda Indonesia telah memudar. Beberapa indikasi
antara lain adalah munculnya semangat kedaerahan seiring dengan diberlakukannya
otonomi daerah; ketidakpedulian terhadap bendera dan lagu kebangsaan; kurangnya
apresiasi terhadap kebudayaan dan kesenian daerah; konflik antar etnis yang
mengakibatkan pertumpahan darah.
Ketidak mampuan pemerintah pasca Orde Baru untuk mengatasi krisis
multidimensional sering dijadikan "kambing hitam" penyebab memudarnya
nasionalisme. Banyak orang yang tidak merasa bangga menjadi orang Indonesia
akibat citra buruk di dunia internasional sebagai "sarang koruptor"
dan "sarang teroris". Banyak orang yang enggan membela negara dengan
alasan "saya dapat dari negara?" Presiden John F. Kennedy dari
Amerika Serikat pernah mengatakan, "don't ask what your country can do for
you, ask what can you do for your country!" (jangan tanyakan apa yang
dapat dilakukan oleh negaramu untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu
lakukan untuk negaramu!) Semangat seperti itu seharusnya juga berlaku bagi
semua warga Negara Indonesia. Ada semacam kekeliruan pandangan bahwa negara
identik dengan pemerintah. Setiap warga negara boleh saja tidak setuju dengan
kebijakan pemerintah, tapi dia tetap berhak dan wajib membela negaranya.
Memudarnya nasionalisme dan patriotisme mungkin juga disebabkan oleh tiadanya
penghayatan atas arti perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Perayaan hari
Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus selama berpuluh tahun terkesan hanya
sebagai ritual upacara bendera yang membosankan. Tradisi
"hura-hura" lomba makan krupuk dan panjat pinang,
panggung hiburan yang dari tahun ke tahun hanya diisi oleh vocal group remaja
setempat di setiap RT di seluruh tanah air dan gapura yang mencantumkan
slogan-slogan kosong di setiap ujung gang. Yang lebih memprihatinkan, di tengah
krisis ekonomi yang berlarut-larut ini, hari Kemerdekaan dirayakan dengan
kembang api. Betapa tidak nasionalis dan tidak patriotisnya, membakar uang
puluhan juta rupiah sementara sebagian besar rakyat tengah menderita.
Sedikit sekali kelompok masyarakat yang merayakan hari Kemerdekaan dengan acara
syukuran dan do'a bersama mengingat jasa para pahlawan yang telah mengorbankan
nyawa mereka untuk mencapai kemerdekaan ini.
Demikian pula Sumpah Pemuda, yang sebenarnya adalah modal awal persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, kini seolah hanya merupakan
pelajaran sejarah yang tidak pernah dihayati dan diamalkan. Munculnya gerakan
separatisme dan konflik antar etnis membuktikan tidak adanya kesadaran bahwa
kita adalah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Harus diakui bahwa
ada faktor-faktor politis, ekonomi dan psikologis yang menyebabkan
gerakan-gerakan separatis maupun konflik antar etnis itu, misalnya masalah
ketidak adilan sosial dan ekonomi, persaingan antar kelompok dan sebagainya.
Kurang tanggapnya pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk mengantisipasi
atau segera menangani berbagai permasalahan itu menyebabkan tereskalasinya
suatu masalah kecil menjadi konflik yang berkepanjangan.
Bela
Negara Sebagai Hak dan Kewajiban Warga Negara Konsep Bela Negara
Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Konsep Bela Negara
dapat diuraikan yaitu secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik yaitu
dengan cara "memanggul bedil" menghadapi serangan atau agresi musuh.
Bela Negara secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar.
Sedangkan Bela Negara secara non-fisik dapat didefinisikan sebagai "segala
upaya untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara
meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap
tanah air serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara".
Bela
Negara Secara Fisik
Keterlibatan warga negara sipil dalam upaya pertahanan negara merupakan hak dan
kewajiban konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia. Tapi,
seperti diatur dalam UU no 3 tahun 2002 dan sesuai dengan doktrin Sistem
Pertahanan Semesta, maka pelaksanaannya dilakukan oleh Rakyat Terlatih
(Ratih) yang terdiri dari berbagai unsur misalnya Resimen Mahasiswa, Perlawanan
Rakyat, Pertahanan Sipil, Mitra Babinsa, OKP yang telah mengikuti Pendidikan
Dasar Militer dan lainnya. Rakyat Terlatih mempunyai empat fungsi yaitu
Ketertiban Umum, Perlindungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar